Di semester tiga ini jadwal belajarku semakin padat. Aku pun mendapat
amanah untuk mengajar di Sekolah Dasar sebagai guru agama untuk
sementara. Bertemu dengan anak-anak kecil nan lucu membuatku semakin
bersemangat dalam belajar dan mengajar. Kebetulan sekolah yang kuampu
adalah salah satu sekolah untuk orang-orang kurang mampu. Anak-anak yang
bersekolah di situ kebanyakan berpakaian ala kadarnya. Walau begitu
semangat mereka untuk terus belajar patut diacungi jempol. Subhanallah..
melihat mereka begitu antusias dalam belajar aku pun ikut bersemangat
dalam mengajar mereka.
Dari pagi hingga sore kuhabiskan waktuku untuk mendidik mereka. Semakin
hari semakin besar rasa cintaku terhadap mereka. Mereka sudah kuanggap
sebagai keluargaku sendiri. Setiap kali aku bosan, kusempatkan untuk
menemui mereka belajar dan bercanda bersama menghabiskan sisa waktu yang
ada. Rasanya menyenangkan sekali berada di dekat mereka. Aku ingat
sewaktu pertama aku mengajar di sana. Suasana kelas waktu itu terasa
sepi sekali bagaikan kuburan di siang hari. Selama satu jam aku berdiri
menyampaikan materi tidak ada yang berani bergerak apalgi mengeluarkan
suara. Hanya sekali terdengar suara berisik. Barulah setelah berjalan
beberapa hari aku mulai akrab dengan mereka. Aku mencoba mengenali
mereka satu persatu.
 |
Aku Menjadi Guru |
Belajar menjadi sosok teman bagi mereka bukan guru yang selalu
mengharapkan ini dan itu. Mereka jauh lebih baik dari anak-anak kota
pada umumnya. Mereka patuh dan taat setiap kali aku minta untuk maju dan
menjawab pertanyaan. Kuajari mereka cara bertutur kata yang sopan, cara
bertingkah laku yang santun. Kutanamkan kebiasaan baik pada mereka
sejak awal aku masuk. Senyum, salam, sapa, sopan, dan santun kini
menjadi budaya kami sehari-hari. Sudah hampir satu bulan ini aku
mengabdi di sekolahan ini. Aku ingin meninggalkan jejak-jejak yang
nantinya akan mereka ikuti di kemudian hari.
Sore itu sepulang dari mengajar aku melewati jalan kecil di sekitar
sekolah. Aku mendapati selembar kertas jatuh di hadapanku. Kuambil dan
kubaca itu. Ternyata kertas itu berisikan perlombaan cerdas cermat yang
diadakan esok hari pukul 9 pagi. “Masya Allah, besok,?” ucapku kaget.
Kebetulan peserta perlombaan tersebut adalah perwakilan salah seorang
anak dari tiap sekolah. Aku berpikir sejenak, “Oh yaa… Siti.. yaa Siti..
dia anak yang tepat untuk lomba ini, ucapku yakin. Siti merupakan salah
satu muridku yang cerdas di kelas. Dia aktif bertanya dan maju ke depan
kelas. Di saat teman-temannya kebingungan menjawab pertanyaan yang aku
ajukan, Sitilah yang dengan cepat dan tepat menjawab pertanyaanku. Tapi,
masalahnya sekarang adalah di mana Siti tinggal? Pertanyaan ini muncul
kemudian. Hari sudah semakin malam, tidak mungkin jika aku harus mencari
rumahnya sekarang. Sangat tidak sopan jika aku bertamu lewat jam. Besok
pagi-pagi sekali aku akan kembali ke sini mencoba mencari rumahnya.
“Iya, itu lebih baik”, ucapku mantap.
Dring…dring…dring… It’s time to Qummm.. (bangun) Aaghh… (sambil
menutup mulut) suara dering alarm pagi itu membangunkanku. Tubuhku pagi
itu terasa berat sekali. Mungkin karena kelelahan, sepanjang hari aku
bekerja tanpa istirahat. Tanpa sadar mataku mulai menutup kembali. Dan…
“Mbak… Upicccc ( kebetulan di rumah panggilanku Upic)…..bangunn..!!!!
udah jam 7 nie.. mau tidur sampai kapan ? ayoo buruan!!!”, teriakan
adikku pagi itu membangunkanku. “Masya Allah..jam 7 nda?” kataku tak
percaya. “Astaghfirullah… mbak upic belum shalat subuh nda!!” “Gaswat
darurat ini!” teriakku panik. Langsung aku menuju kamar mandi dan di
saat aku ingin mikturisi (BAK) ohh ternyata … ( kataku sedikit lebih
tenang karena pagi itu aku berhalangan) syukurlah.. aku tidak perlu
panik sekarang. Segera kubersihkan diri dan berganti baju putih dan rok
hitam, tak lupa kerudung putih kukenakan. Hari ini adalah hari istimewa
jadi aku harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang ada.
“Ibu, nanda mbak Upic merangkat dulu, Assalamu’alaikum”…pamitku sambil
terburu-buru.
Di perjalan menuju sekolah tempat aku mengajar ternyata ada Siti
yang duduk di pesisir pantai. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu.
Langsung saja aku temui dia dan mengajakanya ke tempat perlombaan, tanpa
kujelaskan terlebih dulu padanya. Dia yang pada waktu itu berpakaian
ala kadarnya terlihat bingung melihatku tiba-tiba meraih tangan
mungilnya dan membawanya menaiki sepeda motor. “Ibu Rima (panggilanku di
sekolah) mau mengajak Siti ke mana?” “Kok terburu-buru sekali?”,
tanyanya sewaktu di jalan. Aku yang pada saat itu berada di jalan raya
yang ramai dengan kendaraan mencoba menjelaskan. “Siti maafin Ibu yaa..
tiba-tiba membawamu secara paksa”, ujarku singkat. “Kita akan menuju
tempat perlombaan cerdas cermat yang diadakan 1 jam lagi, jadi Ibu tidak
bisa menjelaskan lebih jauh kepadamu”, jelasku dengan tergesa-gesa.
“Apa?? Cerdas cermat?” jawabnya tak percaya. “Tapi..bu…(belum selesai
dia bicara lalu kupotong) tapi, kamu harus siap bagaimanapun keadaannya
karena ini penting sekali. Oke”, ucapku singkat.
Sesampainya di tempat, kami menuju tempat registrasi dan …
perhatian-perhatian, dimohon semua peserta perlombaan cerdas cermat
segera mempersiapkan diri di area yang telah disediakan. Aku yang
mendengar hal itu, segera mendorong-dorong Siti untuk maju ke depan
memasuki area mengikuti peserta yang lain. Terlihat sekali rona
kebingungan yang tampak dari wajah Siti. Dia hanya menggaruk-garuk
kepala karena tidak tahu harus berbuat apa. Aku pun mencoba memandunya.
“Siti…siti… kamu sekarang fokus aja ke pembawa acara yang menyampaikan
pertanyaannya… ya.. semangat.. Bismillah selalu .Allah with you”,
bisikku kepada Siti. Dia pun hanya mengangguk mengiyakan. “Baiklah
adik-adik kita mulai yaa soalnya”, kata pembawa acara mengawali.
Jantungku waktu itu berdetak kencang luar biasa. Pikiranku melayang ke
mana-mana. “Ya Allah bantulah Siti, permudahkanlah dia dalam menjawab
semua pertanyaannya dan tenangkanlah dia Ya Allah”, doaku dengan
khusyuk. Tenyata pertanyaan yang disampaikan bukanlah pertanyaan seputar
pendidikan melainkan pengetahuan umum yang belum pernah diajarkan di
sekolah sebelumnya. Soal pertama adalah logika.
Soal itu berbunyi demikian,
Kenapa sopir bus ketika mengemudikan
bus berada di sebelah kanan dan tidak berada di sebelah kiri? Dan kenapa
pula kita disarankan untuk duduk di sebelah kanan?
Aku yang
mendengar soal tersebut sedikit bingung, karena yakin Siti pasti tidak
dapat menjawab soal tersebut, Siti sama sekali belum pernah mendengar
soal transportasi darat apalagi sopir bus. Di telinganya, itu semua
terdengar asing. Namun, di luar dugaan ia dapat menjawab pertanyaan
tersebut dengan tepat sekali. “Emm….saya… saya…menurut saya”,.. ucapnya
sambil terbata-bata. “Menurut saya sopir berada di sebelah kanan karena
pemakai jalan itu biasanya berada di sebelah kiri jadi kalau sopir itu
duduk di sebelah kiri akan menyulitkan orang yang mau duduk di
sebelahnya, jadi harus memutar jalan dahulu baru kemudian dapat masuk ke
bus, karena itu sopirnya duduk di sebelah kanan. Dan juga, di saat
sopir ingin berbelok ke arah kiri, dia akan kesulitan karena jauh dari
jangkauan kaca spion yang digunakan untuk melihat keadaan di
belakakangnya. Tapi, jika dia berada di sebelah kanan dia akan dengan
mudah berbelok ke kanan, dengan mengikuti warna lampu lalu lintas. Jika
lampu merah, bus tidak perlu berhenti untuk berbelok ke kiri”.
“Kemudian, kita disarankan duduk di sebelah kanan karena jika suatu
saat terjadi kecelakaan, si sopir yang duduk di sebelah kanan akan
mencoba memutar kendali ke arah kiri supaya dirinya dapat selamat
sewaktu terjatuh ke jurang atau sungai sewaktu bus dalam keadaan
terbalik, jadi penumpang yang berada di sebelah kanan dapat terhindar
dari kecelakaan atau benturan dan dapat menyelamatkan diri lewat kaca
atas. Mungkin begitu jawabannya”,,, jelasnya panjang lebar. Aku yang
mendengar hal itu, sangat terkejut. Karena selama ini tak pernah
sekalipun aku mengajari hal-hal yang berhubungan dengan transportasi,
lalu lintas bahkan keamanan dalam berkendara. “Subhanallah… Siti,”
ucapku bangga dan tak percaya.
Memasuki pertanyaan kedua aku semakin
gugup setengah mati. “Apa lagi soal yang akan keluar nanti”, pikirku
semakin cemas. Soal yang kedua ini sebenarnya mudah tapi ternyata itu
menjebak. Soal itu berbunyi demikian,
Di suatu danau terdapat sekumpulan burung camar yang berjumlah 17
ekor, lalu datang seorang pemburu membawa pistol dan dia berhasil
menembak 2 ekor, jadi berapakah berapa ekorkah burung yang tersisa?
Semuanya peserta berebut menjawab dan hampir seluruhnya menjawab sisa 15
ekor namun, tet.. tot… ternyata buka itu jawabannya. Dan Siti adalah
peserta yang belum menjawab, dia terlihat serius memikirkan soal
tersebut. 3…2…(hitung mundur oleh sang pembawa acara) “Tunggu”… teriak
siti menghentikan penghitungan. “Menurut saya, jawabannya adalah tidak
ada!” ucap Siti yakin. Aku yang mendengar jawabannya sedikit heran.
“Tidak ada?? Mana mungkin?? Yang tertembak kan 2 jadi” ….batinku mulai
bertanya-tanya.
“Begini, pemburu itu berhasil menembak 2 ekor jadi,,, burung-burung
yang lain jadi terbang kembali melarikan diri, takut karena mendengar
suara tembakan dari pemburu. Jadi tidak ada burung camar pun yang
tersisa”, jelas Siti optimis. Masya Allah… aku semakin kagum pada Siti
karena dia memang benar-benar anak yang pandai. Sayangnya pada
pertanyaan ke-3 dan ke-4 Siti tak dapat menjawab dengan benar, karena
soal yang diajukan dalam Bahasa Inggris dan Siti lemah dalam Bahasa
Inggris. Nah, sekarang Siti dan salah satu murid dari sekolah lain
kedudukannya seimbang. Untuk itu diadakan soal tambahan untuk menentukan
siap juaranya. Pertanyaan ini cukup sulit karena aku pernah mengetahui
sebelumnya sewaktu aku duduk di bangku SMA.
Beginilah pertanyaanya,
Ada sebuah keluarga yang meninggalkan
warisan untuk ketiga putranya, isi warisan itu adalah pembagian ayam
sejumlah 23 ekor. Bagian anak pertama adalah ½ bagian, anak kedua 1/3
bagian dan anak terakhir 1/8 bagian. Bagaimana cara kita membagi
ayam-ayam tersebut tanpa memotongnya menjadi dua?
Aku perhatikan Siti sedikit kebingungan dan mencoba membuat
coretan-coretan di kertas yang sudah disediakan. Begitu pun juga dengan
anak tersebut, dia terlihat bingung dan …. 5..4…3…2..(hitungan mundur
kembali)… “Saya tahu jawabannya”, teriak Siti gembira. Setelah
dipersilakan Siti mulai mengutarakan jawabannya, angka 23 tidak bisa di
bagi dengan penyebut 2, 3, dan 8 jadi di sini saya akan menambahkan 1
angka lagi menjadi 24. Dari pembagian inilah saya dapatkan bagian anak
pertama adalah 12 ekor ayam, anak kedua 8 ekor ayam, dan anak ketiga 3
ekor ayam. Jika dijumlahkan akan diperoleh 12 + 8 +3 = 23 ekor. Jadi
satu ayam tadi adalah ayam bohongan. “Itu mungkin jawabannya”, jelasnya
sedikit takut. Aku yang menyaksikan langsung apa yang diterangkan oleh
Siti merasa takjub. Anak semuda dia dapat menjawab pertanyaan yang
mungkin tak semua orang dewasa dapat menjawabnya.
Pembawa acara yang mendengarkan langsung jawaban dari Siti juga tak
kalah takjubnya. “Benarrrr sekali…selamat kepada Siti. Kamu menjadi
juara pada perlombaan kali ini. Sebagai tanda penghargaan, Siti
mendapatkan sertifikat, piala, dan sejumlah uang pembinaan. Siti pun
langsung sujud syukur mengetahui bahwa dirinya kini menjadi juara. Siti
langsung berlari menghampiriku dan memelukku erat. Dia menangis, tapi
bukan karena sedih tapi karna bahagia luar biasa. “Selamat ya Siti..
kamu memang anak yang cerdas. Sekali lagi maafin Ibu yaa… melibatkan
kamu secara paksa”, kataku sambil mengusap air mata. Setelah perlombaan
usai, kami lantas kembali pulang.
Kedatangan kami disambut baik oleh
teman-teman Siti. Dia berlari menghampiri teman-temanya menceritakan
pengalaman singkatnya yang sangat berkesan. Aku pun juga ikut senang dan
bahagia memiliki murid sepertinya.
Piala ini menjadi piala pertama yang mengisi kelas tempatku
mengajar. Siti kau satu-satunya anak perempuan yang berhasil mengalahkan
peserta lain yang semuanya adalah laki-laki Semoga prestasimu dapat
ditiru dan menjadi teladan bagi teman-temanmu.
Harapanku kelak,
mereka dapat menjadi anak-anak yang berguna bagi bangsa dan negara.
Anak-anak yang cerdas bukan untuk dirinya sendiri namun untuk seluruh
insan di bumi. Anak-anak yang tak kenal putus asa senantiasa berusaha
walau kegagalan berulang kali menghampirinya. Anak-anak yang optimis
yakin bahwa mereka juga layak bersaing dengan anak-anak dari kota.
Kehidupan yang serba terbatas bukanlah menjadi penghalang bagi kita
untuk terus berkarya. Yakinilah itu.